Fall to Fly Higher
Fall to Fly Higher
Siapa dari kita
yang selama hidupnya tidak pernah jatuh sama sekali?
Saya rasa semua orang pasti pernah jatuh.
Entah hanya jatuh kecil yang enggak meninggalkan bekas luka atau jatuh yang
sampai berdarah-darah.
Setiap dari
kita, pasti pernah jatuh.
Misalnya, waktu kita belajar berjalan atau berlari atau saat kita belajar naik
sepeda.
Sakit dan memar karena lutut terbentur lantai, atau bahkan sampai nyeri dan berdarah.
Namun, siapa
sangka dari pengalaman menyakitkan tersebut, kita malah menjadi mahir.
1, 2, 3 kali jatuh membuat kita belajar dari kesalahan.
1, 2, 3 kali kita bangkit membuat kita menjadi lebih kuat.
Sampai pada akhirnya kita berhasil.
Bahkan orang
tua jaman dulu selalu menasehati anaknya yang ingi belajar sepeda roda 2 dengan
kalimat berikut: “Kalau kamu ingin mahir main sepeda, jangan takut jatuh. Kalau
kamu jatuh dan coba lagi, kamu akan bisa main sepeda roda 2.”
See? Jatuh bukanlah
pengalaman yang buruk.
Begitu pula dengan kehidupan.
Dalam menjalani kehidupan ini, kita seringkali takut dengan kegagalan atau
jatuh.
Kita selalu berharap apa yang kita rencanakan tercapai sesuai dengan mimpi
indah kita.
Sayangnya, seringkali selalu ada gap antara realita dan harapan.
Namun, pernahkah kalian berpikir sama seperti kita jatuh saat kecil belajar
berjalan atau sepeda roda 2, berkat dari kejatuhan itu yang akan membuat kita
terbang lebih tinggi.
Yes, berkat dari kejatuhan. A failure is a grace!
Kok bisa?
Sini-sini saya kasih liat.
Pertama-tama, saya ingin kasih lihat ke kalian lifeline berikut (gambar
1).
Sederhananya, lifeline merupakan representasi visual dari pengalaman
kita dalam kehidupan kita. Ada dua jenis pengalaman yang dipisahkan oleh garis
horizontal, yaitu pengalaman yang menyenangkan (level 1 s.d 10) dan pengalaman
yang membuat kita sedih atau frustasi (level -1 s.d -10).
Kalau kita perhatikan,
ada momen disaat garis biru menukik tajam kebawah dan menukik tajam ke atas.
Lucunya, setiap tukikan-tukikan yang terjadi seolah silih bergantian.
Jika saya flashback sebenarnya tukikan tajam ke atas itu terjadi berkat tukikan
tajam ke bawah sebelumnya.
Misal, sewaktu berusia12 tahun sampai 14 tahun, hampir setiap kali ia mendengar
orangtuanya bertengkar. Tidak hanya teriakan tapi juga kata-kata kasar.
Harus mendengarkan mama curhat ke anak SMP yang di kala itu di pikirannya masih
hanya ingin bermain dengan teman sebaya. Belum cukup paham dengan pernikahan, perselingkuhan
ataupun perceraian. Namun, ia harus menyaksikan dan mengalaminya.
Sampai pada satu momen, anak perempuan itu muak dan memutuskan untuk minta
sekolah di Surabaya agar jauh dari rumah, yang seharusnya membuat dia nyaman
dan aman.
Ketika keinginannya terpenuhi, angka minus mulai beranjak pada plus.
Sampai pada satu titik terus naik dan menempa ia menjadi pribadi yang lebih
dewasa dari anak usianya, berkat dukungan dari lingkungan barunya.
Sampai seorang anak dari desa bisa lulus S1 dengan summacumlaude.
Keadaan rumahnya
perlahan semakin membaik.
Sampai pada satu titik di usia 22 tahun tidak lama setelah lulus S1, anak kecil
yang mulai beranjak dewasa memulai karir pertamanya.
Gaji yang tinggi untuk golongan freshgraduate di Surabaya ia peroleh.
Namun ternyata ia masih harus melewati tukikan tajam kebawah lagi.
Sampai pada satu titik karena semua kejadian dengan rekan kerja dan bos nya
yang menurutnya sudah diluar etika professional, ia memustukan unutk resign.
Menganggur enam bulan dengan sambal bergumul untuk memaafkan.
Melalui pengalamannya ini ia mendapat kesempatan untuk merasakan punya bisnis
kecil-kecilan dan mencicipi rasanya merintis sebuah usaha.
Anak ini jadi sadar bahwa wirausaha bukan dunia dan keahliannya.
Tukikan minus perlahan mulai beranjak naik.
Di usia 24 tahun, ia mendapatkan pekerjaan baru di Jakarta.
Kota yang ia impikan sebelumnya untuk bekerja.
Lingkungan kerja yang jauh lebih baik dari sebelumnya, kesempatan untuk hidup
lebih mandiri lagi.
See?
Setiap pengalaman buruk yang dialami anak itu, sebenarnya itu yang menjadi
pintu yang membawanya ke pengalaman yang jauh lebih baik. Bahkan diluar
ekspektasinya.
Sebelumnya, ia
sudah mengubur cita-citanya untuk bisa kerja dan tinggal di Jakarta. Karena di
awal mencari kerja, semua lamarannya ditolak.
Saat ia resign dari kantor sebelumnya yang merupakan salah satu perusahaan
besar di Surabaya, ia mengubur mimpinya untuk bisa berkarir di perusahaan besar.
Malah, sekarang ia bekerja di perusahaan yang jauh lebih besar dari sebelumnya.
Pengalamanya di
titik -10, sekarang membuat dia lebih tegar dan berani speak up.
Pengalaman itu juga yang membuatnya bisa menjadi bintang kecil dengan api kecilnya
yang kian lama akan kian bersinar.
“Your lowest point can be your highest
point at the right time. When you open your heart allow your wounds heal and let
those wounds become wounds that tell the world that you are not alone, you are
stronger and more valuable than you think.”
Comments
Post a Comment