Hadiah dibalik Kegagalan Magna Cumlaude

Sejak  13 tahun yang lalu aku membuat satu standard sendiri untuk pendidikanku. Entah berawal dari apa, semenjak kelas III SD aku selalu berusaha berada di peringkat 3 besar. Bagiku, pendidikan/sekolah hanyalah tentang prestasi akademik, alias nilai. Ya, hanya nilai. 

Dengan pola pikir seperti itu, tentunya ketika aku tidak bisa mencapai "standar" itu aku akan merasa sebagai orang yang gagal.

Aku ingat banget, saat gagal duduk di kelas favorit waktu SMP (kelas yang katanya berisi anak-anak pintar saja) aku sangat sangat sedih.

Aku menyalahkan diri sendiri dan merasa bodoh banget. Padahal saat itu aku di kelas favorit kedua. Jiwa ambisiusku dalam mengejar nilai ternyata semakin hari semakin parah. 

Demi memuaskan ambisi, selama 3 tahun masa SMP aku habiskan hanya untuk belajar, belajar dan belajar. Aku selalu mengejar nilai tertinggi. Fokusku hanya nilai, nilai dan nilai.

Memang usahaku tidak sia-sia. Di tahun terakhir aku berhasil meraih nilai UN 3 tertinggi se-sekolah. Namun sayangnya, 3 tahun masa SMP-ku pada akhirnya hanya aku habiskan untuk meraih nilai, tanpa mengenal dunia organisasi. 

Di awal masa SMA, tidak jauh berbeda dengan masa SD dan SMP-ku. Namun, sesuatu yang besar terjadi di masa ini. 

Aku mulai kenal dengan dunia lain selain dunia "belajar". Ya, aku mulai tergabung dengan salah satu komunitas di gereja baruku dan terlibat dalam organisasi kepengurusan komisi pemuda remaja gereja tersebut.

Ternyata menyenangkan bisa bertemu dengan banyak orang, saling berbagi cerita, belajar hal baru (selain pelajaran sekolah), dan melayani orang lain. Sayangnya, mindset-ku masih tetap sama. Walaupun mulai merasakan dampak positif dari berorganisasi, prinsipku tetap sama, "Nilai adalah segalanya dalam pendidikan, mutlak!" 

Bahkan, saat memasuki dunia kuliah aku punya prinsip begini: 

"Harus pernah berorganisasi waktu kuliah, ikut lomba sekali aja cukup, yang penting IPK setinggi-tingginya." 

Berkat prinsip itu, memang aku menjadi calon wisudawan dengan gelar magnacumlaude (IPK sempurna). Sayang, di semester V aku harus rela melepas harapan itu. IPK yang semula 4.00 harus turun menjadi 3.99, ya 3.99.  

Sedih? Pasti! Apalagi tipe anak yang seambisius dan seperfectsionist itu terkait nilai. Selama hampir 2 minggu aku selalu murung dan sesekali nangis saat sendiri. 

Tapi ternyata, kejadian "pecah telur" ini menjadi turning point-ku untuk semakin bertumbuh lebih dewasa. 

Aku mulai mencoba merenung sebenarnya mengapa IPK-ku kok bisa turun 0.01? 

Waktu itu karna salah satu jadwal kuis bentrok dengan jadwal pelatihan Leadership Development Djarum Beasiswa Plus, sebuah pelatihan yang aku peroleh karena berhasil mengalah +10.000 mahasiswa lain untuk menjadi penerima beasiswa dari Djarum Foundation.

Mau enggak mau, aku harus ujian susulan, dan ujian susulan sehari setelah aku pulang dari pelatihan. Nasib memang. 

Sebelum berangkat pelatihan, aku harus menyelesaikan semua tugas individu dan kelompok lebih cepat agar bisa fokus mengikuti pelatihan. Selama pelatihan hampir setiap hari selama pelatihan tidur jam 12.00 malam; bangun jam 6.00 pagi. Waktuku untuk belajar materi kuis berkurang banyak. Alhasil, di kuis itu tidak lulus.

Aku mengerahkan segala kemampuan untuk UTS dan UAS agar tetap A. Tapi Tuhan berkata lain. Walaupun semua sisa tugas dan ujianku A, tapi nilai kumulatifku kurang 1 poin untuk dapat A.

Perenunganku berlanjut. 

Oke, aku sudah tahu penyebabnya. Tapi kenapa kok aku seambisius itu untuk lulus dengan IPK sempurna? Apakah IPK sempurna bisa menjadi tiket express saat cari kerja? Sebenarnya kalau dari cerita orang, enggak juga. Lalu kenapa? 

Setelah aku menelusuri diriku lebih dalam, alasanku mempertaruhkan segalanya untuk IPK adalah karena aku meletakkan keberhagaan diriku, kebanggaanku pada nilai. Aku sadar motivasiku salah. 

Pantas saja, tiap kali nilaiku turun aku merasa gak berharga. 

Berawal dari sini, aku jadi sadar kalau IPK bukanlah dewa yang bisa membuat aku sukses.

Lebih penting prosesnya bagaimana kamu bisa meraih IPK itu daripada angka IPK-nya.

Aku juga jadi sadar, turunnya IPK ku bukanlah suatu kegagalan, melainkan babak baru kehidupanku. 

Aku jadi tahu mindset-ku selama ini salah. 

Aku jadi pagham betapa berharganya sebuah proses ketimbang hasil. 

Kegiatan Djarum Beasiswa Plus yang awalnya aku anggap sebagai penyebab kegagalanku, malah menjadi salah satu momen dan tempat paling berharga dan saksi bisu untuk pertumbuhanku. 

Dari Djarum Beasiswa Plus aku tahu pentingnya koneksi, bertemu dengan banyak orang hebat, seperti Mr. James Gwee, Pak Primahadi Serad, Kak Riko Anggara, Kak Bayu Sutiono, Kak Margie Astaman,  dll). 

Selain itu, aku juga mendapatkan kepercayaan untuk memimpin dan pegang berbagai project yang sebelumnya gak pernah aku pegang di kampus, berani mengambil peluang yang ada, berani bicara di depan umum (kelemahan paling terbesarku). 

Melalui moment yang kadang gak enak, Tuhan bekerja untuk mendewasakanku.

Aku yang dulu yang selalu mendewakan IPK ternyata bisa menjalani sisa kehidupan perkuliahanku menjadi lebih balance. 

Saat aku berani melepaskan IPK sempurna, Semesta menggantinya dengan hadiah yang gak pernah kubayangkan sebelumnya; Juara 2 Mawapres tingkat universitas, Juara 2 National Writing Competition, menjadi speaker untuk salah satu materi leadership development,  dan untuk pertama kalinya mimpiku pergi pengabdian masyarakat di luar jawa terwujud.  

Memang apa yang tak pernah dilihat mata dan tak pernah didengar telinga, yang tak pernah timbul di dalam hati, semua disediakan bagi kita, asalkan kita mau membuka tangan. 

God is good all the time. All the time God is good. Thanks Lord. 

Comments

Popular posts from this blog

Fall to Fly Higher